Kisah Benny Moerdani Nyaris Mati

Sdílet
Vložit
  • čas přidán 7. 09. 2024
  • Benny Moerdani Nyaris Mati
    Ini cerita tentang salah satu jenderal baret merah legendaris. Jenderal tersebut bernama Benny Moerdani yang dijuluki raja intel Indonesia.
    Kisahnya saat Benny nyaris meregang nyawa, tertembak dalam sebuah pertempuran. Seperti apa kisahnya? Simak cerita yang akan diulas dalam video ini.
    Dikisahkan dalam buku, "Doorstoot Naart Djokja yang ditulis Julius Pour saat Benny Moerdani masih remaja. Ketika itu, Benny ikut angkat senjata melawan tentara Belanda dengan bergabung dengan kesatuan Tentara Pelajar.
    Diceritakan, saat itu kesatuan tentara pelajar, dimana Benny bergabung terlibat dalam sebuah pertempuran sengit dengan tentara Belanda.
    "Saya sedang berada di sekitar Gereja Katolik Purwosari ketika mendadak dari arah Barat terdengar bunyi tembakan riuh rendah, disusul oleh ledakan bom. Belum hilang kaget saya, mendadak dari arah yang sama, muncul dua pesawat terbang Belanda. Serentak mereka terbang rendah sambil memuntahkan peluru, menyapu habis segala-galanya" kata Moerdijo Djoengkoeng, seorang Komandan Seksi pasukan TP dari Kompi Abdoel Latief mengenang peristiwa pertempuran yang terjadi.
    Menurut Moerdijo, kesatuan yang dipimpinnya mencoba melawan dari dalam selokan di pinggir jalan. Tiba-tiba hujan tembakan lain datang dari Selatan, dari Kampung Baron, disusul munculnya bren-carrier."
    Bersama anak buahnya, Moerdijo sedang "digunting", disergap secara serentak dari dua sisi. Saat itu pasukan yang terdiri dari para pemuda dan pelajar dari Solo tersebut tidak sadar, bahwa dari Kartasura menuju Solo terdapat dua jalan sejajar.
    Jalan raya baru, dari simpang tiga Kartasura, langsung ke tengah kota, lewat Stasiun Kereta Api Poerwosari.
    Sementara itu, hanya setengah kilometer di Selatan, ada sebuah jalan lama. Berawal dari depan bekas Keraton Kartasura, lurus menuju ke Keraton Surakarta.
    Ternyata, tentara Belanda menyerbu Solo sebagaimana ketika mereka menyerbu Jogja. Tidak melalui jalan utama, namun malah memanfaatkan jalan lama. Dengan demikian, Belanda langsung bisa mendobrak sekaligus menggunting garis pertahanan pasukan Republik.
    "Saya segera meloncat keluar dari selokan, sambil memerintahkan anak-anak lari mundur agar masih bisa menyelamatkan diri," kata Moerdijo Djoengkoeng.
    Sambil berlari, Moerdijo melihat salah seorang anak buahnya. Dia masih bocah,
    umurnya masih 14 atau 15 tahun, malah celingukan, mungkin tidak sadar bahwa musuh sedang menyergap dari dua arah.
    "Saya segera berteriak, Ben, Ben, mundur, mlayuo ngetan. Ben, Ben, mundur, lari ke arah Timur."
    Benny Moerdani sendiri mengenang peristiwa tersebut.
    "Saya sangat kaget, sebab pengalaman tersebut merupakan pengalaman tempur pertama saya. Maka begitu mendengar perintah Pak Moerdijo, saya langsung lari, mengikuti semua petunjuknya. Kami semua nyaris sudah kehabisan napas, ketika pasukan TP satu regu tersebut sama sama "ambruk", begitu sampai di Bandjarsari. Bayangkan, kami semua terus menerus berlari dari depan Gereja Purwosari sampai Banjarsari," kata Benny Moerdani.
    Hari itu, bayangan kematian ternyata terus mengejar Benny.
    ”Sore hari kami sampai di Kampung Sekarpace. Di sana kami mencoba beristirahat, berbaring di pinggir tanggul Bengawan, sambil menunggu datangnya rakit, untuk dipakai menyeberang," kata Benny.
    Benny pun melanjutkan ceritanya.
    ”Mendadak muncul sebuah bren carrier di atas tanggul, langsung senapan mesinnya memberondongkan puluhan peluru. Salah satu tepat kena popor senapan saya, kayunya berantakan, Serpihannya menancap di wajah dan tubuh. Saya langsung pingsan, darah berceceran. Saya segera dibopong teman-teman, dilarikan nyebrang Bengawan, sampai ke Bekonang," kenang Benny mengenang kembali peristiwa yang nyaris merenggut nyawanya.
    Sekian tahun kemudian, sewaktu meninjau kembali lokasi penembakan, Benny pernah ditanya, apa jadinya kalau tembakan tentara Belanda akurat.
    Dengan wajah dingin, Benny menjawab, "Ya lantas tidak akan pernah ada Panglima ABRI bernama Benny Moerdani. Wong saya saat itu pasti sudah game over."

Komentáře • 2