Orasi Feminis - Prof. Toeti Heraty

Sdílet
Vložit
  • čas přidán 29. 09. 2018
  • Rabu (12/9) bertempat di Cemara 6 Galeri, Menteng, Jakarta Pusat, Yayasan Jurnal Perempuan mengadakan acara Peluncuran JP 98 Perempuan dan Kebangsaan, sekaligus merayakan Ulang Tahun Yayasan Jurnal Perempuan yang ke-23. Acara ini dihadiri mengundang Dewan Pembina, Dewan Pengawas, Mitra Bestari dan Sahabat Jurnal Perempuan. Acara Peluncuran JP 98 Perempuan dan Kebangsaan memiliki beberapa agenda acara seperti pembacaan puisi yang dipaparkan oleh Debra Yatim (Aktivis) dan Dewi Nova (Penulis), permainan piano oleh Asfinawati (Advokat Hak Asasi Manusia), dan orasi feminis yang disampaikan oleh Prof. Dr. Toeti Heraty Noerhadi-Roosseno, yang juga merupakan salah satu pendiri Yayasan Jurnal Perempuan.
    Orasi feminis yang dipaparkan oleh Toeti Heraty diawali dengan penjabarannya mengenai JP 98 Perempuan dan Kebangsaan. Menurut Toeti untuk memperlihatkan relasi antara perempuan dengan kebangsaan perlu ada pembahasan mengenai empat periode besar yang pernah dan sedang terjadi di Indonesia yaitu (1) Zaman pergerakan anti-kolonial; (2) Awal kemerdekaan 1945-1966 atau orde lama; (3) Zaman orde baru; dan (4) Zaman pasca reformasi (pola ibuisme baru, ibuisme islam politik) Toeti menjelaskan bahwa pada zaman pergerakan anti-kolonial, gerakan perempuan memiliki perspektif yang kuat untuk mempromosikan pendidikan, sebab saat itu pendidikan terbatas hanya untuk kaum aristokrat dan priayi. Toeti menegaskan bahwa pada era ini cukup banyak kongres yang diadakan, salah satunya adalah Kongres Istri Indonesia III pada tahun 1938 dengan tujuan menolak poligami. “Pada era ini Istilah ibuisme dimaknai sebagai ibu bangsa, menunjang nasionalisme dan anti-kolonial. Pada era ini pula perempuan digambarkan dengan ikon sembadra (lemah lembut) dan srikandi (perjuangan)” tutur Toeti.
    Kemudian, Toeti menjelaskan bahwa pada periode awal kemerdekaan 1945 hingga 1966 (orde lama) tidak ada gejolak yang terlalu terlihat. Pada periode ini penolakan atas poligami menjadi problematis, sebab Soekarno sebagai seorang presiden melakukan poligami. Toeti mengakui bahwa pada periode ini perjuangan tidak banyak terjadi. Hanya saja terdapat emansipasi di bidang pendidikan yang dilakukan oleh Nyi Mangunsarkoro, Ibu Ki Hajar Dewantoro, dan Sri Siti Sukaptinah.
    Baca selengkapnya: www.jurnalperempuan.org/warta...

Komentáře • 10

  • @sulistyowatiirianto8864
    @sulistyowatiirianto8864 Před 3 lety +2

    Ibu Toeti memang guru yang luar biasa.... Selamat jalan Bu, kepandaian dan kepedulianmu terhadap kemanusiaan perempuan akan tetap abadi dan diteruskan oleh generasi berikutnya. Semoga bahagia abadi

  • @jamalskids3237
    @jamalskids3237 Před 3 lety +1

    Ya alloh ibu tuti... bnyk kenangan bersamanya..

  • @azzamburhanudinhanif7892

    Bismillah
    Semangat terus eyang
    Terimakasih atas semangat ya

  • @krisantusyustus20
    @krisantusyustus20 Před 3 lety

    Luar biasa

  • @ekobudiono1431
    @ekobudiono1431 Před 2 lety +1

    Pedagogi feminis literatur ordelama-reformasi.....uraaa....

  • @muhammadhamsah8336
    @muhammadhamsah8336 Před 3 lety

    Top

  • @Journey.document
    @Journey.document Před 5 lety

    hmm. cerdas

  • @asnalsudirman5840
    @asnalsudirman5840 Před 5 lety

    👍

  • @fathurrofii4512
    @fathurrofii4512 Před 5 lety

    Hmm

  • @heribertodasor5567
    @heribertodasor5567 Před 4 lety

    Perempuan punya nasib lika-liku.Kebangsaan punya nasib kembang kempis.Perempuan dan kebangsaan punya motivasi nyali dan solusi.Tapi kita punya jalan kebenaran dan hidup yang punya cerita miris.Apakah R A Kartini sudah berreinkarnasi di negeri kita saban hari?