Kajian Spesial Dzuhur: Dr. Amir Faishol Fath MA | Tadabbur QS. Abasa

Sdílet
Vložit
  • čas přidán 23. 01. 2017

Komentáře • 17

  • @atjiebaruwati1694
    @atjiebaruwati1694 Před 11 měsíci

    Subhaanalloh.. Barokalloh.. 🙏💖💞

  • @iketama3973
    @iketama3973 Před 7 lety +5

    alhamdulilah masih bisa mendengarkan yg baik baik untuk bekal nantinya

  • @luthfiamalina2265
    @luthfiamalina2265 Před 3 lety +2

    Barakallah, semoga ilmunya berkah

  • @munawatiwati1216
    @munawatiwati1216 Před 3 lety +2

    Terimakasih Ustadz atas ilmunya manfaat sekali untuk kami ketika menjalankan hidup agar selalu berbuat baik, dan berwajah ramah kpd siapapun

  • @hayatunnisa8193
    @hayatunnisa8193 Před 3 lety +1

    Jazakallah tausiah nya, sy selalu menyimak tafsir ust Amir

  • @dewingofficial463
    @dewingofficial463 Před 4 lety +2

    Allohumma sholi ala sayyidina muhammad 🙂

  • @nurhusnah7118
    @nurhusnah7118 Před 3 lety +1

    Alhamdulilah Semoga bertambah iman nya ....

  • @john-keybagas3662
    @john-keybagas3662 Před 3 lety +2

    3thn yg lalu ceramah oleh prof Drs amir faisol sekarang terbukti tgl 1/sept/2020 penguasa dan kabinet memihak kebatilan dan kekafiran smg alloh swt melindungi ulama yg ikhlas , jujur , istiqomah dgn syiar agama islam dgn Ridho alloh swt bukan jama'ah yg banyak tapi ridho alloh swt ..aamiin.

  • @amirrulloh5215
    @amirrulloh5215 Před 4 lety +1

    Makasih ustad untuk ilmunya baik di alhilmah maupun di youtube

    • @NoName-fm5tc
      @NoName-fm5tc Před rokem +1

      Iya sama² bang amir. Dari markas BLOK M

  • @archeryindonesia1995
    @archeryindonesia1995 Před 7 měsíci

    Afwan, ini lanjutannya mana ya?

  • @jonyrahmadi3276
    @jonyrahmadi3276 Před 3 lety

    masya Allah antum menisbatkan Nabi yang bermuka masam, naudzubillahimindalik

  • @jonyrahmadi3276
    @jonyrahmadi3276 Před 3 lety

    ini ayat bukan teguran untuk nabi , tapi teguran buat sahabat nabi utsman,

  • @jonyrahmadi3276
    @jonyrahmadi3276 Před 3 lety

    Ulama Ahlusunnah waljamaah sendiri banyak yang mengatakan bahwa hadis mengenai sebab turunnya ayat ini dipertanyakan. Dalam Fathul Qadir, Ibnu Katsir berkata, “Dalam hadis itu ada gharabah.” Dalam Sunan Turmudzi Juz 5 tafsir 432/1, Abu Isa berkata, “Ini hadis Gharib.” Al-Alusi berkata di dalam Ruh al-Ma’ani 38/30 bahwa Abdullah bin Ummi Maktum adalah orang Madinah, dan bukan termasuk dari pembesar Makkah. Al-Qurthubi berkata dalam Ahkam al-Quran 213/19, “Apa yang dilakukan Abdullah bin Ummi Maktum itu adalah akhlak yang buruk.” Dalam riwayat ahlul Bayt, diceritakan bahwa Nabi saat itu sedang bersama dengan Utsman bin Affan dan Abdullah bin Ummi Maktum. Saat itu Rasulullah SAW. mendahulukan Abdullah daripada Usman, maka Usman bermuka masam.
    Sekarang, mari kita lihat lagi tuduhan-tuduhan tentang kemasaman muka yang mulia Nabi, lalu kita coba jelaskan kedudukannya dengan cara menjelaskan kalimat-kalimat al-Quran sendiri dari segi maknanya dengan ayat-ayat al-Quran yang lain.
    Ayat Abasa Watawalla (bermuka masam dan memunggungi):
    Yang kita telaah di sini adalah kata Abasa (bermuka masam) dan tawalla (memunggungi). Dua kata ini adalah bentuk dari sifat yang jelek, atau disebut sebagai al-Fadhadhah (الفظاظة), yang bermakna: اساء وقسا, yang bermakna berperilaku jelek dan keras hati. Kata mufrad (tunggal) dari al-fadhdhah adalah fadzdzan (فظا), yaitu berperangai buruk dan keras hati. Apakah Rasulullah SAW. berperangai buruk atau fadhdhan? Mari kita rujuk ayat ini:
    فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ
    “Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu.” (Qs. Ali Imran: 159)
    Ayat ini menjelaskan tentang kasih-sayang Nabi SAW. dan kelembutan Nabi dalam berdakwah, yang berarti bahwa Allah SWT. menghilangkan sifat fadhadhah di dalam diri beliau. Hal lain adalah, dalam ayat Abasa Watawalla, dhamirnya dimulai dengan dhamir ghaib (kata ganti orang ketiga), dan bukan dhamir mukhathab (kata ganti orang kedua atau lawan bicara), yang langsung menunjuk kepada Nabi SAW. Ini menunjukkan bahwa bukan Nabi yang menjadi mukhathab-nya dalam ayat ini. Berbeda ketika Allah langsung menuju kepada Nabi sebagai mukhathab-nya.
    يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ لاَ يَحْزُنكَ الَّذِينَ يُسَارِعُونَ فِي الْكُفْرِ
    “Hai Rasul, janganlah hendaknya kamu disedihkan oleh orang-orang yang bersegera (memperlihatkan) kekafirannya..” (Qs. al-Maidah 41)
    Ini adalah kisah sedihnya Nabi atas kufurnya Ibnu Suriyah, ulama Yahudi, yang sebenarnya mengakui kerasulan Nabi SAW. Lalu, ayat ini turun langsung menyebut kata Rasul.
    يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ
    “Wahai Nabi, mengapa engkau mengharamkan apa yang dihalalkan Allah bagimu..”
    Ayat ini turun langsung menegur Nabi yang berusaha menghormati istri-istri beliau. Saat itu beliau sedang berada di rumah Mariyah, lalu datanglah Aisyah dan Khafshah, lalu Nabi berkata, “Aku tidak mendekatinya.” Allah lalu menegurnya dengan ayat ini. Ayat teguran ini mengunakan kata ganti orang kedua langsung kepada Nabi. Sedangkan ayat Abasa Watawalla tidak mengunakan kata ganti orang kedua (mukhathab), melainkan menggunakan kata ganti orang ketiga atau dhamir ghaib.
    Lalu ayat:
    أَن جَاءهُ الْأَعْمَى
    Apakah lafadz الْأَعْمَى di sini bermakna buta mata atau buta hati? Apakah menyebut orang yang buta dengan perkataan “Wahai orang buta” dengan suara yang keras itu itu akhlak yang baik? Lafadz العمى di dalam al-Quran bermakna rahasia dan tertutup. Oleh karena itu, kata العمى itu bermakna semua hal yang ditutupi. Orang yang buta mata itu ditutupi dari melihat sesuatu, sedangkan orang yang buta hati itu ditutupi dari melihat makna-makna, seperti hidayah dan lain-lain. Allah SWT. berfirman:
    وَمَا أَنتَ بِهَادِي الْعُمْيِ عَن ضَلالَتِهِمْ إِن تُسْمِعُ إِلاَّ مَن يُؤْمِنُ بِآيَاتِنَا فَهُم مُّسْلِمُونَ
    “Dan kamu sekali-kali tidak dapat memimpin (memalingkan) orang-orang buta dari kesesatan mereka. Kamu tidak dapat menjadikan (seorangpun) mendengar, kecuali orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami, lalu mereka berserah diri.
    (Qs. al-Naml 81)
    Kata العمى di bukanlah orang yang buta mata, tetapi buta mata hatinya. Jika kita telisik kata ini, maka wazannya adalah wazan af’al, yaitu sesuatu yang levelnya lebih atau paling. Kata الْأَعْمَى itu merupakan bentuk “paling” dari kata العمى. Artinya, diceritakan bahwa ketika itu ada orang-orang buta hatinya yang berbincang-bincang bersama Nabi, lalu ada orang yang paling buta hatinya, yaitu yang paling butuh pengetahuan tentang iman dan paling butuh didakwahi. Ayat ini seperti menjelaskan tentang awwaliyah atau prioritas, yaitu mendahulukan orang yang lebih butuh didakwahi. Maka, kata a’ma di sini bukanlah orang yang buta matanya, tetapi orang yang buta mata hatinya, maka dia mencari hidayah.
    Lalu, siapakah yang bermuka masam dan memalingkan muka? Jika kita mentadabburi al-Quran, maka tidak ada pada al-Quran tanda-tanda kepribadian Nabi yang menunjukkan sifat buruk seperti bermuka masam dan memalingkan muka itu. Al-Quran menjelaskan bahwa Rasulullah SAW. itu bersifat pengasih, lembut, murah hati, dan penyayang. Imam Abu al-Fadhil al-Thabrasi dan imam al-Syarif al-Murtadha berkata, “Pada dhzhir ayat tidak ada dalil bahwa ayat ini ditujukan untuk Nabi SAW. Tetapi, ini adalah kabar ansich yang tidak dijelaskan siapa yang orang yang dalam kabar itu. Tetapi, yang jelas, bahwa al-abus atau bermuka masam itu bukanlah sifatnya Nabi SAW. Bahwa Nabi lebih mendahulukan orang-orang kaya yang masih memusuhinya dan mengenyampingkan orang muslim yang miskin, jelas itu bukan Nabi. Ini jelas bertentangan dengan ayat ini:
    وإنك لعلى خلق عظيم
    “Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Qs. al-Qalam: 4)
    Adakah orang yang tidak bisa menempatkan diri itu berbudi pekerti agung? Ataukah kalian akan mengatakan bahwa Nabi sedang lalai? Lalu apa artinya ayat ini bagi Anda:
    وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ
    “Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu.” (Qs. Ali Imran: 159)
    قَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
    “Sungguh telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami (orang yang sangat besar empatinya), sangat murah hati kepada kalian, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman.” (Qs. al-Taubah:128)
    Apakah ayat-ayat di atas ini adalah ayat-ayat yang juga lalai, karena telah salah menggambarkan Nabi? Wow, saya benar-benar dalam posisi beriman kepada Allah atas segala yang difirmankan-Nya: bahwa semua yang difirmankan oleh Allah adalah benar, tanpa celah setitik pun; sehingga saya tidak berani mengatakan bahwa ayat manapun bertentangan dengan ayat apapun yang ada di dalam al-Quran.
    Jika benar nabi adalah orang yang Abasa watawalla, maka bagaimana dengan ayat ini:
    ثُمَّ عَبَسَ وَبَسَرَ ثُمَّ أَدْبَرَ وَاسْتَكْبَرَ فَقَالَ إِنْ هَذَا إِلاَّ سِحْرٌ يُؤْثَرُ
    Lalu, dia (al-Walid bin al-Mughirah) bermuka masam dan cemberut, kemudian berpaling (dari kebenaran) dan menyombongkan diri, lalu dia berkata, “(Al-Quran) ini hanyalah sihir yang dipelajari (dari orang-orang dahulu). Ini hanyalah perkataan manusia.” (Qs. al-Muzzammil 22-25)
    Artinya, jika Abasa Watawalla itu Nabi SAW., maka Nabi SAW. telah disamakan dengan al-Walid bin al-Mughirah, yang adalah penghuni neraka abadi. Saya sungguh tidak mengerti cara berpikir para mufassir yang mendudukkan Nabi SAW. sama dengan al-Mughirah bin al-Walid. Sekali lagi, sungguh saya benar-benar tidak berani mengikuti pendapat siapapun yang mengatakan bahwa Nabilah orang yang abasa watawalla itu, karena itu benar-benar bertentangan dengan ayat-ayat al-Quran sendiri.